Minggu, 21 Oktober 2012

Hari Pahlawan: Kehidupan seorang Pahlawan Tak Kenal Lelah


KEHIDUPAN SEORANG PAHLAWAN
TAK KENAL LELAH





Kemiskinan di kota metropolitan Jakarta sudah tidak asing lagi bagi sebagian orang. Mencari nafkah, berjuang untuk hidup, dan menaruh harapan adalah hal yang dilakukan orang-orang untuk keluar dari deritanya kemiskinan. Jurang yang tercipta antara kekayaan dan kemiskinan pun semakin curam dan tidak terkendali setiap tahunnya. Banyak kalangan yang merasakan pahitnya kemiskinan.

Salah satunya Tresno (49), pengayuh becak di Pademangan, Jakarta Utara. Pagi-pagi betul, ia sudah mengayuh becaknya menelusuri selasar gang. Banyak dari warga Pademangan yang memintanya menjadi becak “langganan”.  Pelanggannya berasal dari kalangan anak-anak muda hingga ibu-ibu yang ingin mengantar anaknya bersekolah. Ia tidak pernah mengeluh capai terhadap apa yang dijalaninya saat ini.

Dengan pakaian yang lusuh dan topi bundar layaknya petani, ia menerjang jalanan padat untuk mengantar pelanggannya sampai ke tempat tujuan. Kayuh dengan kuat demi keluarga adalah motto yang ia tanamkan dari hati. Motto tersebut ia bawa dalam pekerjaannya sehari-hari. Walaupun penghasilannya kecil, ia sangat mensyukuri apa yang ia dapatkan demi keluarga.

“Pendapatan sih belum tentu dapatnya sehari berapa. Paling besar, saya pernah dapat sekitar Rp. 105.000,- per hari. Itu pun ada yang sukarela kasih ke saya karena saya membantu orang tersebut untuk pindah rumah. Paling sedikit pernah hanya ada Rp. 15.000,- di saku saya. Uang yang saya dapat belum juga disetorkan kepada pemilik becak,” kata Tresno yang merupakan ayah dari tiga orang anak.

Tresno mengaku tidak pernah mematok harga untuk para pengguna becaknya. Ia sukarela menerima berapa saja yang diberikan pelanggannya. Jika mendapat uang yang sedikit, ia bersama dengan sang istri, Estiningtyas (47) yang bekerja sebagai seorang buruh cuci, tidak makan seharian demi anak-anaknya yang berada di Salatiga, Jawa Tengah. Tetapi, selalu ada saja seorang pelanggannya yang memberi makanan untuk disantap.

Berkat dari kegigihan dan perjuangan mereka sebagai seorang orang tua. Ketiga anak Tresno berhasil mengenyam pendidikan sampai tingkat perkuliahan. Anak sulungnya, Cahyadi (35) telah berhasil menempuh pendidikan di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga. Berkat pendidikannya, Cahyadi berhasil bekerja pada sebuah perusahaan gizi di Salatiga. Anak keduanya, Darapuspita (25) merupakan lulusan STAIN Salatiga dengan jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah. Dan anak bungsunya, Arawinda (21) sedang menempuh pendidikan di Universitas Negeri Semarang dengan jurusan Sastra Jawa.

Tresno dan Esti tidak pernah mengeluarkan biaya yang besar untuk memberikan pendidikan tinggi kepada anaknya. Mereka mengatakan bahwa anak-anaknya lah yang paham dengan situasi keluarganya. Sehingga anak-anaknya belajar dengan keras dan mendapatkan beasiswa. Kebahagiaan yang didapat oleh mereka bukanlah karena mendapatkan harta yang berlimpah, melainkan melihat keberhasilan ketiga anaknya.

Dengan hidup terpisah dari anak-anaknya, ia membuktikan bahwa ia tetap harus bekerja walaupun ketiga anaknya telah sukses. Mereka tidak ingin di-cap sebagai orang tua yang pemalas, hanya mengharapkan uang dari anak semata. Maka dari itu, tetap bekerja merupakan pilihan yang bijak dan tepat menurutnya.

Tresno adalah sosok yang perlu dicontoh masyarakat Indonesia. Ia tidak pernah kenal lelah demi keluarganya, demi anak-anaknya mencapai kesuksesan. Kesuksesan yang tidak ia rasakan melainkan untuk anaknya. Pahlawan yang berjuang terus menerus melawan musuh bukan dalam perang. Pahlawan yang melawan musuh dalam kemiskinan.



Tulisan ini merupakan Ujian Tengah Semester Mata Kuliah Grafis Media dan tugas Penulisan Feature (Human Interest)


 SUMBER : Liputan Pribadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar